-->

DISFAGIA AKIBAT KANKER

Posting Komentar

                                    

DISFAGIA AKIBAT KANKER

 






 

OLEH :

KELOMPOK 1

           

Inong Fatmala

Indah Riski

Amalia Eka Handayani

Winda Lestari           

Hasrul Abidin

Lucky Triwijayanto Wawan Sudira 

Indra Pratama Putra

 

           

 

                       

 

                       

 

 

 

 

PRODI SI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MANDALA WALUYA

KENDARI

2019

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar  Belakang

      Menelan merupakan satu proses yang kompleks yang memungkinkan pergerakan makanan dan cairan dari rongga mulut ke lambung. Proses ini melibatkan struktur di dalam mulut, faring, laring dan esofagus.

      Keluhan sulit menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung. Jenis makanan yang menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi mengenai kelainan yang terjadi.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi dari disfagia ?

2.      Apa etiologi dari disfagia ?

3.      Bagaimana patofisiologi dari disfagia ?

4.      Apa manifestasi klinis dari disfagia ?

5.       Apa faktor resiko dari disfagia ?

6.      Bagaimana penatalaksanaan medis dari disfagia ?

7.      Bagaimana pengobatan dari disfagia ?

8.      Bagaimana studi kasus penyakit disfagia akibat kanker?

C.    Tujuan Penulisan

1.       Untuk mengetahui definisi dari disfagia

2.       Untuk mengetahui etiologi dari disfagia

3.       Untuk mengetahui patofisiologi dari disfagia

4.       Untuk mengetahui manifestasi klinis dari disfagia

5.       Untuk mengetahui faktor resiko dari disfagia

6.       Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari disfagia

7.       Untuk mengetahui pengobatan dari disfagia

8.       Untuk mengetahui studi kasus disfagia akibat kanker

D.    Manfaat Penulisan

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang penyakit disphagya, penyebab, tanda dan gejala, patofisiologi, faktor resiko, penatalaksanaan, komplikasi dan pengobatanya, serta dapat menambah pengetahuan tentang penyakit disfagia akibat kanker

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Disfagia

      Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mengalirkan makanan padat atau cair dari mulut melalui esofagus. Penderita disfagia mengeluh sulit menelan atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Disfagia harus dibedakan dengan odinofagia (sakit waktu menelan). Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan pada masing-masing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal dan fase esofageal.

      Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya regurgitasi ke hidung, terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai menelan. Sedangkan disfagia fase esofageal, pasien mampu menelan tetapi terasa bahwa yang ditelan terasa tetap mengganjal atau tidak mau turun serta sering disertai nyeri retrosternal. Disfagia yang pada awalnya terutama terjadi pada waktu menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula pada makanan cair, diperkirakan bahwa penyebabnya adalah kelainan mekanik atau struktural. Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan penyebabnya adalah gangguan neuro muskular. Bila keluhan bersifat progresif bertambah berat, sangat dicurigai adanya proses keganasan.

B.     Etiologi

1.      Disfagia Orofaringeal

            Masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan saraf dan otot dapat melemahkan otot-otot tenggorokan, sehingga sulit untuk memindahkan makanan dari mulut ke tenggorokan dan kerongkongan (paralisis faring). Anda mungkin tersedak, muntah atau batuk ketika mencoba untuk menelan, atau memiliki sensasi makanan atau cairan yang mengarah ke tenggorokan (trakea) atau hidung. Hal ini dapat menyebabkan pneumonia. Penyebab dari disfagia orofaringeal meliputi:

·         Penyakit-penyakit neurologis

      Gangguan tertentu seperti sindrom post-polio, multiple sclerosis, distrofi otot dan penyakit Parkinson, bisa disebabkan oleh disfagia orofaringeal.

·         Kerusakan neurologis

      Gangguan/kerusakan neurologis secara tiba-tiba,   seperti akibat cedera tulang, stroke, cedera otak atau tulang belakang, dapat menyebabkan kesulitan menelan atau ketidakmampuan untuk menelan.

 

·         Divertikula faring

      Sebuah kantong kecil membentuk dan mengumpulkan partikel makanan di tenggorokan, seringkali pada bagian atas kerongkongan anda, menyebabkan kesulitan menelan, suara gemericik, bau mulut, dan pengeluaran dahak atau batuk berulang.

·         Kanker

      Kanker jenis tertentu serta pengobatan kanker tertentu, seperti radiasi,dapat menyebabkan kesulitan menelan.

2.      Disfagia Esophagus

            Disfagia esofagus mengacu pada sensasi makanan yang menempel atau makanan terjebak di dasar tenggorokan atau di dada. Beberapa penyebab dari disfagia esofagus meliputi:

·         Akalasia

      Hal ini terjadi ketika otot esophageal bawah (sfingter) tidak mengendur/melonggar dengan benar sehingga tidak dapat membiarkan makanan masuk ke perut. Otot-otot pada dinding kerongkongan mungkin juga lemah. Hal ini dapat menyebabkan regurgitasi makanan yang belum tercampur dengan isi perut, kadang-kadang menyebabkan makanan kembali naik ke kerongkongan. Jenis disfagia ini cenderung memburuk dari waktu ke waktu.

·         Kejang diffuse (menyebar)

      Kondisi ini menghasilkan beberapa kontraksi kerongkongan yang disertai dengan tekanan tinggi dan kurangnya koordinasi – biasanya terjadi setelah Anda menelan. Kejang diffuse mempengaruhi otot tak sadar pada dinding kerongkongan bagian bawah.

·         Striktur esofagus

      Penyempitan kerongkongan dapat menyebabkan potongan besar makanan menjadi terperangkap. Penyempitan mungkin merupakan akibat dari pembentukan jaringan parut, sering juga disebabkan oleh penyakit gastroesophageal reflux (GERD), atau akibat tumor.

·         Tumor esofagus

      Kesulitan menelan cenderung menjadi semakin buruk ketika tumor kerongkongan hadir.

·         Benda asing

      Kadang-kadang, makanan seperti potongan besar daging, atau benda lain dapat memblokir tenggorokan atau kerongkongan. Orang dewasa dengan gigi palsu dan orang-orang yang mengalami kesulitan mengunyah makanan dengan benar  lebih cenderung mengalami potongan makanan yang tersangkut di tenggorokan atau kerongkongan. Anak-anak mungkin menelan benda-benda kecil, seperti pin, koin atau potongan mainan, yang dapat tersangkut di kerongkongan mereka.

·         Cincin esofagus

      Daerah penyempitan-tipis pada kerongkongan bawah ini (sesekali) dapat menyebabkan kesulitan dalam menelan makanan padat. Gastroesophageal reflux disease (GERD). Kerusakan jaringan kerongkongan akibat kembalinya asam lambung (refluks) ke kerongkongan anda dapat menyebabkan kejang atau jaringan parut dan penyempitan kerongkongan bagian bawah, sehingga anda kesulitan dalam menelan

·         Eosinofilik esophagitis

      Kondisi ini, yang mungkin terkait dengan alergi makanan, disebabkan oleh kelebihan populasi sel yang disebut eosinofil pada kerongkongan, dan dapat menyebabkan kesulitan menelan.

·         Scleroderma

      Penyakit ini ditandai oleh perkembangan jaringan seperti bekas luka,     menyebabkan kekakuan dan pengerasan jaringan. Kondisi ini dapat melemahkan sfingter esofagus bawah anda, yang memungkinkan asam untuk kembali ke kerongkongan dan menyebabkan anda sering mulas.

·         Terapi radiasi

      Jenis pengobatan kanker ini dapat menimbulkan peradangan dan jaringan parut pada kerongkongan, yang dapat menyebabkan kesulitan menelan.

C.    Patofisiologi

      Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari fase menelan yang dipengaruhinya.

a.      Fase Oral

            Gangguan pada fase Oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan fase pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian lidah. Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat dan permulaan menelan. Ketika meminum cairan, psien mungki kesulitan dalam menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai akibatnya, cairan tumpah terlalu cepat kadalam faring yang belum siap, seringkali menyebabkan aspirasi. Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai berikut:

·         Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena tidak rapatnya pengatupan bibir

·         Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut karena berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah

·         Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh lidah dan koordinasinya

·         Tidak mampu mengatupkan gigi untuk mengurangi pergerakan madibula

·         Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus anterior karena berkurangnya tonus otot bibir.

·         Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah

·         Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau berkurangnya sensibilitas mulut

·         Pencarian gerakan atau ketidakmampuan unutkmengatur gerakan lidah karena apraxia untuk menelan

·         Lidah bergerak kedepan untuk mulai menelan karena lidah kaku.

·         Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan kekuatan lidah

·         Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah

·         Kontak lidah-palatum yang tidaksempurna karena berkurangnya pengangkatan lidah

·         Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah keatas

·         Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi dan kekuatan lidah

·         Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease

·         Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau melekat pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan linguavelar

·         Piecemeal deglutition

·         Waktu transit oral tertunda

b.      Fase Faringeal

            Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasienmungkin tidak akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil makanan biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah menelan. Dalam kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-otot faringeal, atau pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal atas, pasien mungkin menahan sejumlah besar makanan pada faring dan mengalami aspirasi aliran berlebih setelah menelan. Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai berikut:

·         Penundaan menelan faringeal

·         Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan velofaringeal

·         Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) – lipata mukosa pada dasar lidah

·         Osteofit Cervical

·         Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena pengurangan kontraksi bilateral faringeal

·         Sisa makanan pada Vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior dari dasar lidah

·         Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau lipatan faringeal

·         Sisa makanan pada puncak jalan napas Karena berkurangnya elevasi laring

·         Penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan napas

·         Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring

·         Stasis atau residu pada sinus pyriformis karena berkurangnya tekanan laringeal anterior.

D.    Manifestasi Klinis

a.      Disfagia Oral atau faringeal

·         Batuk atau tersedak saat menelan

·         Kesulitasn pada saat mulai menelan

·         Makanan lengket di kerongkongan

·         Sialorrhea

·         Penurunan berat badan

·         Perubahan pola makan

·         Pneumonia berulang

·         Perubahan suara (wet voice)

·         Regusgitasi Nasal

b.      Disfagia Esophageal

·         Sensasi makanan tersangkut di tenggorokan atau dada

·         Regurgitasi Oral atau faringeal

·         Perubahan pola makan

·         Pneumonia rekuren

E.     Faktor Risiko

Berikut ini adalah faktor risiko dari kesulitan menelan:

·         Penuaan (usia)

            Karena proses penuaan secara alami dan normal menyebabkan keausan pada kerongkongan, disertai risiko yang lebih besar dari kondisi tertentu, seperti stroke atau penyakit Parkinson, maka orang dewasa yang lebih tua berada pada risiko yang lebih tinggi dari kesulitan menelan.

·         Kondisi kesehatan tertentu

            Orang dengan kelainan sistem neurologis atau saraf cenderung lebih mungkin mengalami kesulitan menelan.

F.     Penatalaksanaan Medis

Pemeriksaan spesifik untuk menilai adanya kelainan anatomi atau sumbatan mekanik penunjang kegunaan :

1.      Barium Swallow (esofagogram)

2.      CT Scan

3.      MRI

4.      Laringoskopi direk

5.      Esofaguskopi

6.      Endoskopi ultrasound

7.      Menilai anatomi dan fisiologi otot faring/esophagus, deteksi sumbatan oleh karena tumor, struktur, web, akalasia, difertikulum.

8.      Kelainan anatomi di kepala, leher dan dada

9.      Deteksi tumor, kelainan veskuler atau stroke, degeneratif proses di otak

10.  Menilai keadaan dan pergerakan otot laring

11.  Menilai lumen esophagus biopsy.  

G.    Pengobatan Disfagia

      Mengetahui penyebab disfagia secara mendasar sangat penting terhadap tingkat keberhasilan pengobatan. Tujuan terpenting dari terapi disfagia adalah untuk menjaga asupan nutrisi pasien dan mencegah makanan masuk ke saluran pernapasan. Selain mengatasi penyebabnya, beberapa metode atau teknik tatalaksana yang dapat diterapkan kepada pasien untuk menjaga asupan nutrisi yang cukup adalah:

a.      Modifikasi diet

            Modifikasi diet dilakukan dengan cara mengatur tekstur dan kekentalan makanan sesuai dengan kemampuan menelan pasien. Pasien disfagia yang menjalani pengobatan ini umumnya adalah pasien yang mengalami kesulitan menelan di fase oral. Pasien dapat diatur makanannya mulai dari makanan berbentuk cair encer seperti jus, kemudian ditingkatkan kekentalannya jika kemampuan menelan sudah membaik, hingga kemudian dapat kembali diberikan makanan yang berbentuk padat, seperti roti atau nasi.

b.      Terapi menelan

            Terapi menelan pada penderita disfagia akan dibimbing oleh terapis khusus. Terapis akan mengajarkan bagaimana proses menelan selama masa penyembuhan agar pasien tetap dapat menelan makanan. Terapi ini dijalankan terutama bagi penderita yang kesulitan menelan akibat permasalahan di mulut.

c.       Selang makan

            Selang makan umumnya dilakukan untuk membantu pasien memenuhi kebutuhan nutrisinya selama fase pemulihan mulut dan faring. Selain untuk membantu memasukkan makanan ke saluran pencernaan, selang makan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat-obatan. Terdapat dua jenis selang makan, yaitu selang nasogastrik (NGT) dan selang gastrostomi endoskopi perkutan (PEG). Selang NGT dipasang melalui hidung kemudian menuju lambung. Sedangkan selang PEG dipasang langsung ke dalam lambung melalui kulit luar perut.

d.      Obat-obatan

            Pemberian obat-obatan bagi penderita disfagia umumnya tergantung dari penyebab disfagia. Beberapa jenis obat-obatan yang dapat diberikan kepada penderita disfagia antara lain:

·         Obat untuk mengurangi asam lambung, seperti ranitidin dan omeprazoleObat-obatan ini biasanya digunakan pada penderita disfagia akibat penyakit reflux asam lambung (GERD), serta untuk mengurangi keluhan sakit maag yang mungkin terjadi pada penderita disfagia karena menyempitnya kerongkongan.

Botulinum toxin yang disuntikan pada kerongkongan bagian bawah untuk melumpuhkan otot kerongkongan yang kaku akibat akalasia. Namun kerja botulinum toxin hanya bertahan sekitar 6 bulan.

·         Obat darah tinggi golongan penghambat kalsium, seperti amlodipine dan nifedipine. Obat-obatan ini dapat diberikan untuk melemaskan otot apabila terdapat ketegangan pada otot kerongkongan bagian bawah.

e.       Operasi

            Operasi yang dilakukan untuk mengatasi disfagia biasanya dilakukan pada kelainan di esofagus. Operasi bertujuan untuk memperlebar esofagus yang menyempit sehingga makanan bisa lewat dengan mudah. Terdapat dua metode operasi yang dapat dilakukan untuk memperlebar esofagus, yaitu:

·         Dilatasi

      Metode operasi ini dilakukan dengan menggunakan panduan endoskopi, yaitu selang berkamera untuk mendapatkan gambaran esofagus dengan jelas. Setelah itu, bagian esofagus yang menyempit dilebarkan dengan balon atau alat businasi.

·         Pemasangan stent

      Stent merupakan tabung logam yang bisa dipasang di esofagus untuk memperlebar saluran esofagus yang menyempit. Pemasangan stent lebih disarankan pada penderita kanker esophagus yang tidak dapat diangkat dibandingkan dengan dilatasi, karena jaringan kanker berisiko untuk robek bila dilebarkan dengan teknik dilatasi. Stent akan dipasang dengan panduan foto Rontgen ataupun endoskopi.

            Untuk membantu meringankan gejala yang timbul akibat disfagia, penderita dapat mengubah kebiasaan makan dan hidup, seperti:

·         Berhenti minum alkohol, merokok, dan minum kopi

·         Mengubah kebiasaan makan

      Pola makan penderita disfagia diatur menjadi lebih sedikit jumlahnya namun lebih sering. Potongan makanan juga dipecah-pecah menjadi lebih kecil dan saat makan harus mengunyah lebih lama.

·         Menghindari makanan yang menyebabkan gejala bertambah parah

      Beberapa makanan yang sifatnya kental dan melekat pada dinding kerongkongan dapat membuat proses menelan lebih sulit. Contohnya selai, mentega atau karamel. Beberapa penderita disfagia juga mengalami kesulitan menelan cairan, seperti jus.

H.    Studi Kasus Disfagia Akibat Kanker

ILUSTRASI KASUS

Seorang wanita 55 tahun, dating dengan keluhan sulit menelan yang semakin memberat sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan sulit menelan sudah dirasakan sejak tiga tahun SMRS. Awalnya pasien masih dapa menelan makanan lunak, namun lama kelamaan hanya dapat menelan cairan. Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati daan terdapat sisa makanan yang terasa kembali ke tenggorokan. Keluhan lain yang dirasakan adalah suara yang beruah menjadi lebih serak, sering terbatuk saat minum, dan penurunan berat badan sebanyak lebih kurang 10 kg dalam  tahun. Pasien menyangkal adanya riwayat tertelan zat korosif sebelumnya. Selain itu, tidak terdapat riwayat penyakit dahulu yang signifikan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dengan tanda vital dalam batas normal dan indeks massa tubuh (IMT) sebesar 17,5 kg/m2. Dari pemeriksaan status generalis didpatkan anhidrosis pada sisi kanan wajah, miosis, pseudoptosis, dan enoftalmus pada mata kanan. Pada pemeriksaan leher didapatkan adanya massa pada daerah leher sisi kanan yang ikut bergerak pada saat menelan, berukuran 5x3x2 cm dengan batas yang tidak tegas, permukaan rata dan tidak didapatkan adanya tanda-tanda radang maupun bruit pada massa tersebut (gambar 1). Elenjar getah bening leher sisi kiri teraba sebanyak dua buah dengan diameter 2 cm dan 3 cm, permukaan rata, konsistensi kenyal, tidak dapat digerakan dan  tidak terdapat tanda-tanda radang. Kedudukn trakea sulit dinilai karena tertutup oleh massa tersebut. Pada pemeriksaan paru-paru didapatkan ronki basah kasar pada kedua paru, sedangkan pada pemeriksaan jantung abdomen tidak didapatkan adanya kelainan. Kelenjar getah bening pada daerah aksila dan inguinal tidak teraba. Pada pemeriksaan ekstrenitas didapatkan edema pada lengan kanan.

Gambar 1. Massa pada leher sisi kanan

Pemeriksaan laboratorium menunjukan anemia normoditik normokrom dengan hemoglobin 9,3 g/dl dan hypoalbuminemia (3,39 g/dl). Analisis gas darah menunjukan adanya asidosis respiratorik dengan pH 7,392; pCO2 51,7; pO2 93,5; HCO3 31,4; dan saturasi O2 97%. Pemeriksaan elektrolit menunjukan hyponatremia ringan (128 mEq/L), sedangkan pemeriksaan ureum, kreatinin, enzim transaminase, dan hemostatis berada dalam batas normal.

Pemeriksaan rontgen toraks menunjukan adanya pelebaran mediastinum superior sisi kanan disertai deviasi trakea kiri. Pada rontgen jaringan lunak leher didapatkan adanya perpadatan dengan pelebaran ruang retrotrakeal dan mediastinum kanan yang mendorong trakea ke kiri. Pada pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi di RS lain yang dikerjakan dua bulan sebelum masuk rumah sakit, didapatkan adanya akalasia disertai gastro-duodenitis erosive akibat refluks empedu. Mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA) tampak pucat dan esophagus serta lambung dipenuhi sisa makanan. Pemeriksaan esofagogram barium menunjukan gambaran seperti paruh burung pada sfingter esophagus bagian bawah (gambar 2).

Gambar 2. Esofagogram (terlihat segmen esophagus distal yang menyempit berukuran sepanjang 4,5 cm, dan diameter esophagus proksimal berukuran 2 cm).

Hasil CT-scan toraks (gambar 4) menunjkan tumor ekstra pulmonal berukuran 6,22x5,42x6,79 cm yang berasal dari daerah leher kanan bawah dan masuk ke ruang mediastinum superior, serta berada diantara esophagus dan struktur vaaskular leher (vena jugularis dan arteri karotis). Massa ini tidak berasal dari esophagus maupun paru kanan. Kelenjar tiroid tidak membesar, namun bagia bawah lobus kanan terbatas tidak tegas dengan tumor. Massa juga menekan trakea dan esophagus. Esophagus pada daerah lesi terdorong ke kiri tampak juga pelebaran luen esophagus yang prominen mulai dari 1/3 tengah sampai distal esophagus (daerah perbatasan gastroesofageal-kardia) serta gambaran air-fluid level (debris) di esophagus distal. Dilatasi tersebut menekan cabang inferoposterior bronkus kanan menyebabkan konsolidasi dengan air broncogram disegmen 10 paru kanan. Tampak infiltrate segmen 4,6 kanan dan segmen 8,9 kiri. Terdapat pleura ringan dibagian dorsal basal. Biopsy eksisi kelenjar getah bening leher menunjukan hasil karsinoma sel skuamosa (Gambar 4).

Gambar 3. CT Scan Toraks

Berdasarkan data diatas ditegakan masalah karsinoma sel skuamosa regio servikal kanan bawah dengan komplikasi berupa pseuoakalasia, sindroma horner dan paralisis pita suara, pneumonia aspirasi dengan riwayat obstruksi jalan napas, anemia normositik normokrom, malnutrisi dan hipoalbumiemia. Selama perawatan, pasien menjalani dilatasi pneumaik sebanyak satu kali dan businasi sebanyak dua kali untuk mengatasi keluhan disfagia. Selain itu, dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan stadium tumor.

Gambar 4. Biopsy kelenjar getah bening leher menunjukan karsinoma sel skuamosa.

PEMBAHASAN KASUS

     Pada kasus diatas, awalnya kita berhadapan dengan suatu keganasan pada daerah mediastinum superior yang memiliki manifestasi awal berupa disfagia. Sulit menelan atau dalam istilah kdokteran disebut disfagia. Pasien pada umumnya memberikan keluhan berupapersaan adanya makanan yang tertinggal atau berhenti dalam perjalananya menuju lambung. Keluhan ini dapat disertai denga perasaan nyeri dada maupun tidak nyamanserta keluhan regurgitasi makanan. Pada malam hari terkadang pasien kadang-kadang batuk dan merasa tercekik eskipun saat itu pasien tidak sedang menelan. Pasien juga dapat mengeluh nyeri dada terasa terbakar.

Pada kasus diatas pasien mengeluhkan sulit menelan yang semakin memberat sejak dua bulan sebelum masuk rumah sakit. Awalnya terjadi disfagia terhadap makanan padat yang semakin progresif dan berkembang menjadi disfagia terhadap makanan cair. Selain disfagia, terdapat juga regurgitasi makanan ke rongga mulut. Ciri-ciri keluhan disfagia ini lebih mengarah pada disfagia tipe esophageal. Pasien juga tidak mengalami hambatan dalam mengunyah makanan maupun menyiapkan makanan untuk ditelan.

Adapun disfagia tipe esophageal yang melibatkan makanan padat secara umumnya disebabkan oleh kanker atau striktur esophagus. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan esofagoskopi, esofagogram barium, dan atau pemeriksaan manometri esophagus untuk mencari etiologi disfagia.

Etiologi disfagia pada kasus ini adalah akalasia dan diagnosis akalasia ditegakan berdasarkan pemeriksaan esofagogram barium yang menunjukan pelebaran esophagus disertai dengan gambara seperti paruh burung pada bagian perbatasan gastroesofageal.

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

      Kesulitan menelan (dysphagia) sering terjadi diberbagai kelompok usia, khususnya pada orang tua. Dysphagia merujuk pada kesulitan menelan makanan atau minuman . Hal ini disebabkan karena berbagai faktor, yang paling sering adalah karena stroke, penyakit neurologi progresif, adanya selang tracheostomy, paralise atau tidak adanya pergerakan pita suara, tumor dalam mulut, tenggorokan atau esofagus, pembedahan kepala, leher atau daerah esofagus. Masalah yang terjadi akibat gangguan menelan adalah aspirasi, malnourishment dan dehidrasi.

      Diet modifikasi pada pasien dengan gangguan menelan. Teknik modifikasi diet pada pasien dengan gangguan menelan meliputi merubah bentuk dan suhu makanan berdasarkan pada hasil evaluasi makanan yang ditelan. Liquid dapat dikentalkan dengan produk komersial atau makanan lain. Penggunaan makanan lain seperti cereal bayi, tak berasa gelatin, atau tapioka bisa dirubah secara konsisten dengan pasien dysphagia yang diperlukan pasien sesuai kebutuhan untuk memenuhi nutrisi dan hidrasi mereka. Bila prinsip dasar penatalaksanaan gagal untuk menghasilkan kemajuan dalam dua sampai tiga minggu atau jika pasien mengalami kemunduruan setelah pengembangan dibuat, pertimbangan harus diberikan untuk mengevaluasi kembali dan menyerahkan selanjutnya untuk intervensi medik.

Disfagia tipe esophageal yang melibatkan makanan padat secara umumnya disebabkan oleh kanker atau striktur esophagus. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan esofagoskopi, esofagogram barium, dan atau pemeriksaan manometri esophagus untuk mencari etiologi disfagia.

Etiologi disfagia pada kasus ini adalah akalasia dan diagnosis akalasia ditegakan berdasarkan pemeriksaan esofagogram barium yang menunjukan pelebaran esophagus disertai dengan gambara seperti paruh burung pada bagian perbatasan gastroesofageal.

B.     Saran

      Proses pemberian makanan pada pasien post gangguan menelan ini perlu kesabaran. Karena itu kerjasama dengan anggota keluarga terdekat untuk mempersiapkan perawatan lanjut di rumah. Pemilihan makanan juga harus disesuaikan dengan kemampuan menelan pasien. Oleh karena itu kerjasama dengan ahli gizi sangat penting untuk pemilihan dan penyediaan makanan yang sesuai dengan perkembangan pasien. Frekuensi pemberian makanan pada pasien pun berbeda dengan orang normal. Karena kemampuan pasien belum optimal asupan makanannya pun belum adekuat. Untuk itu frekuensi pemberian makanan dibuat sesering mungkin dengan porsi disesuaikan dengan kemampuan pasien.

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Maria Loho dkk, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 2, No. 1, Oktober 2014, Rumah Sakit Umum Kuningan Medical Center, Cirebon

William F. Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. 2001. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Slamet Suyono, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. 2001. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 1990. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

William F. Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. 2001. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

 

 

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter